Sektor tambang menjadi bisnis menggiurkan pascareformasi. Banyak pengusaha di sektor kehutanan yang dulu memfokuskan diri pada perhutanan pun banting setir ke sektor tambang. Setelah puas menebang kayu, mereka kini mengeruk sumber alam yang ada di bawahnya. Begitulah kira-kira.
Tak hanya itu, sejumlah pengusaha sektor lain pun ramai-ramai merambah bisnis tambang, khususnya batubara. Tak pelak, kini terdapat 10 ribuan Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang telah diterbitkan di seluruh Indonesia. Mayoritas merupakan izin pertambangan batubara. Namun, lebih dari separuh IUP tersebut bermasalah atau berstatus non clean and clear.
Setelah ditelisik, IUP bermasalah umumnya terjadi karena melanggar aturan, merusak lingkungan, tumpang tindih dengan wilayah kuasa pertambangan (KP) lain, atau merambah hutan konversi. Lebih dari itu, otonomi daerah dianggap sebagai biang keladi menjamurnya ribuan IUP. Pemimpin daerah begitu gampang melepaskan IUP tanpa dilandasi verifikasi dan prosedur yang memadai.
Karena itulah, sudah saatnya IUP ditertibkan. Liberalisasi di sektor pertambangan harus direvisi agar bangsa Indonesia tidak gigit jari di masa mendatang. Izin tambang tidak boleh sembarangan diberikan demi mendongkrak pendapatan asli daerah maupun royalti buat pemerintah pusat.
Pemerintah juga sudah saatnya menata ulang izin usaha tambang serta berbagai izin yang terkait dengan eksploitasi sumber daya alam kita. Izin-izin yang ada harus dievaluasi dan diverifikasi. Jika memang melanggar, pemerintah harus tegas untuk membatalkan atau mencabut.
Bila secara hukum berada di posisi yang benar, pemerintah pusat maupun pemda tak perlu takut digugat oleh pemegang izin, bahkan bila digugat hingga arbitrase internasional sekalipun. Terlebih lagi bila pemberian izin mengindikasikan terjadinya korupsi dan kolusi.
Selain penertiban, sudah saatnya otoritas pemberian IUP dikembalikan ke pusat agar lebih terkontrol dan tidak menjadi ajang pengerukan sumber alam secara semena-mena oleh pemda dan investor. Untuk itu, UU No 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba) perlu diamendemen.
Seiring dengan itu, UU tentang Otonomi Daerah (Otda) juga perlu direvisi, mengingat UU Minerba mengacu pada UU Otda. Dalam penataan ulang dan penertiban itu, semua harus disinkronkan dengan rencana tata ruang dan tata wilayah (RT/RW) di setiap provinsi yang sudah mendapat pengesahan dari pusat.
Sinkronisasi amat penting untuk menghindari tumpang tindih dan eksploitasi sumber daya alam secara liar dan tak bertanggung jawab. Yang lebih penting dari semua itu, koordinasi dan sinkronisasi lintas sektoral maupun antarkementerian terkait bisa menjadi langkah awal. Jika tidak, egoisme sektoral hanya akan memperlambat proses penertiban IUP ini. (Haris Reggy)

No comments:
Post a Comment