Thursday, 15 August 2019

Ancaman Malpraktik Pertambangan Terhadap Lingkungan


ilustrasi foto: Istimewa

Kesimbangan ekologi yang terganggu dan industri pertambangan adalah dua hal yang selalu terkoneksi baik secara langsung atau tidak dalam membangun eksistensinya. Industri pertambangan memang akan selalu dihadapkan dengan persoalan lingkungan baik saat memulai, menjalankan hingga mengakhiri produksinya. Pada dasarnya persoalan lingkungan terkait pertambangan bukan permasalahan yang tidak ada jalan keluarnya. Karena sudah ada beragam koridor yang disiapkan untuk mengaturnya. 

Akan tetapi pada sisi yang lain kemungkinan terjadinya penyimpangan atau malpraktik dari para pelaku industri ini juga sangat mungkin terjadi. Salah satu contohnya adalah yang terjadi di Aceh. Sebagaimana diungkapkan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi)bahwa kondisi Aceh saat ini terancam bencana ekologi akibat terjadinya malpraktik di sektor pertambangan.

Menurut catatan Walhi, hingga saat initercatat sekitar 120 perusahaan sudah mengantongi izin eksplorasi dan eksploitasi sumber mineral di Provinsi Aceh dengan luas areal tambang keseluruhannya mencapai 750 ribu hektar. 

Namun yang menjadi permasalahan adalah soal lokasi tambang tersebut. Karena sekitar 80% areal tambangitu adadi kawasan hutan. Dapat dibayangkan jika 120 perusahaan tambang tersebutberoperasi, makaancaman kerusakan kawasan hutan jelas tak bisa dihindari. Potensi terjadinya ketidakseimbangan ekologi menjadi lebih besar. Bahkan bisa mengakibatkan habitat satwa liar yang semula di kawasan hutan bergeser ke tempat lain. 

Padahal sebagaimana terjadi selama ini ketika habitatnya terusik, maka satwa liar tersebut memasuki permukiman penduduk dan mengganggu kehidupan masyarakat. Menurut Walhi, upaya moratorium tambangadalah jalan terbaik. Karena Moratorium tambang diyakini mampu memberi waktu bagi pemulihan ekologi. Selain itu perlindungan terhadap alam dan sumber dayanya akan lebih efektif apabila masyarakat mengetahui seluk beluk perihal eksploitasi tambang tersebut.

Hal serupa juga terjadi di lingkungan Wansait, Kecamatan Waeapo, Pulau Buru, Maluku. Lingkungan di area tersebut terancam rusak akibat aktivitas pendulangan emas. Kerusakan lingkungan ini dikhawatirkan memicu bencana di pulau tersebut di masa mendatang.

Seperti dikutip  Harian Kompasbahwa: di areal perbukitan Wansait, sejumlah pohon sengaja ditebang oleh pendulang. Akibatnya perbukitan pun  menjadi gundul. Selain itu para pendulang juga membuat terowongan di bawah tanah. Beberapa lubang digali sedalam 5 meter, Sedangkan terowongan yang dibuat bisa memanjang sampai 10 meter. Parahnya lagi jarak antara lubang yang satu dengan lainnya sangat dekat. Hal ini dikarenakan banyaknya jumlah pendulang yang beroperasi di lokasi tersebut. 

Di samping itu, para pengepul emas juga menambah kerusakan lain dengan penggunaan air raksa sebagai bahan untuk mengolah material menjadi emas. 
Air raksa itu langsung dibuang begitu saja ke tanah atau sumber air yang mengalir ke hutan sagu dan Sungai Waetala. Padahal aliran air dari Sungai Waetala selama ini digunakan untuk mengairi persawahan di Waeapo. 

Yang harus diingat adalah, limbah air raksa atau merkuri itu sangat berbahaya bagi tubuh manusia. Karena bisa menyerang susnan saraf dan juga menyebabkan kanker serta tumor. Penggunaan merkuri ini sebetulnya sudah dilarang karena  begitu besar bahaya yang ditimbulkan. 

Upaya penutupan kawasan ini pernah dilakukan oleh Pemerintah namun tidak berhasil, dikarenakan warga menentang. Padahal tanpa disadari kerusakan lingkungan ini bisa memicu bencana di pulau tersebut di masa mendatang. Jadi, mari kita selamatkan negeri ini. 
(Yusuf Yudo, sudah diterbitkan di Majalah Borneo, Edisi 09-2012) 

No comments:

Post a Comment