Wednesday, 14 August 2019

Jakarta “Banjir” Polutan




    foto: carfromjapan.com

Banjir di Jakarta, kini tak lagi identik dengan air. Kota berlogo Monas dengan segudang impian dan harapan bagi kaum urban --di hari ulang tahunnya ke 492-- dipenuhi polutan yang sangat membahayakan. Akibatnya, Kota Jakarta menjadi Kota Tidak Sehat di dunia.

Sejarah polusi udara diindikasikan awal pada 1790 dengan adanya penyakit cacar. Pada 1918, diidentifikasi penyakit flu pada dua juta orang dari populasi 40 juta di Spain. Pada 1957 teridentifikasi hadirnya Asian Flu yang melanda satu juta orang dari satu miliar populasi dan pada 1968 hadir Hongkong Flue yang sangat terkenal.

Berdasarkan data situs penyedia peta polls udara AirVisual, Selasa 9 JUli 2019 pukul 18.00 WIB, kualitas udara Jakarta berata dalam urutan TTIDAK SEHAT ketiga dunia kategori: Kota dengan udara tidak sehat. Komisi Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) mencatat, emisi kendaraan bermotor menyumbang 47 persen zat pencemar di Jakarta setiap harinya. Setelah itu industri dan pembangkit listrik (22 persen), debut jalanan (11 persen), kegiatan domestik (11 persen), pembakaran sampah (5 persen) dan pekerjaan konstruktiv (4 persen)

Polusi udara yang disebabkan oleh asap buangan kendaraan bermotor, selain memicu pemanasan globat ternyata bisa berakibat mematikan bagi kesehatan, bahkan paparan yang rendah sekalipun.

Risiko kesehatan akibat paparan polusi udara dalam skala rendah tersebut dilakukan oleh tim peneliti dari The Imperial College London, Inggris. Seperti dikutip dari situs BBC, dalam risetnya mereka membandingkan antara akibat asap hitam akibat hasil pembakaran bahan bakar fosil dan industri, dan sulfur dioksida, berdasarkan angka kematian antara tahun 1982 hingga tahun 1998.  
Kendati di Inggris angka pencemaran udara berkurang, namun menurut para peneliti, risiko kesehatan yang ditimbulkan dari polusi tersebut tetap sama. Dampak buruk dari polusi udara yakni kematian akibat penyakit pernapasan, meningkat hingga 19 persen karena asap hitam, dan terjadi peningkatan 20 persen akibat sulfur dioksida. 
Sebaliknya dengan di Indonesia, data Kompas menyebutkan dibandingkan dengan tahun 2004 dan 2005, kualitas udara di DKI Jakarta terus memburuk, yang berarti makin tinggi pula dampak negatifnya bagi kesehatan, belum lagi kerugian ekonomi yang ditimbulkan. Padatnya jumlah kendaraan di jalan-jalan ibukota menjadi penyebab buruknya kualitas udara. 
Risiko kesehatan tampaknya belum menjadi perhatian serius pemerintah untuk mengendalikan pencemaran udara. Sudah saatnya jumlah kendaraan di perkotaan di batasi untuk mengurangi gas buang karbonmonoksida dan nitrogen oksida yang beracun. Tak hanya itu, penyediaan hutan kota yang didominasi oleh pohoh-pohon Trembesi, Mahoni dan Sengon, menjadi cara yang efektif untuk menyaring kandungan karbon di udara. (Haris Reggy, dari beragam sumber)

No comments:

Post a Comment